Panduan Shalat Berdasarkan Kitab Muktabar (Bag.1 - Niat dan Takbiratul Ihram)
Alhamdulillah wash shalatu was salamu 'alaa Rasulillah, atas permintaan sahabat kami yang sangat mulya agar membahas mengenai shalat, maka kami mengusahakan untuk membahas shalat berdasarkan apa yang diketahui dari kitab-kitab ulama muktabar (madzhab Syafi’iyyah) dan berdasarkan penjelasan-penjelasan yang pernah kami terima dari Asatidz dan pak Kiayi yang mulya –alladzi sami’na wa atha’na-. Semula ana sempat menolak dengan alasan ana menyadari bahwa ana masih sangat awam. Akhirnya ana memenuhi pemintaan Ashabina dan mengusahakan menulisnya dengan senantiasa memohon petunjuk kepada Allah. Pembahasan ini tentu saja hanya pembahasan singkat sesuai dengan kapasitas keilmuan penulis yang faqir al-faqir ini dan akan diuraikan secara bertahap. InsyaAllah.
Sebelum membahas, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu mengetahui rukun shalat secara singkat. Kami kutipkan dari kitab Safinatun Naja (Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i), kitab ulama madzhab syafi’iiyah yang biasa dipelajari sebagai panduan shalat bagi pemula, dimana biasanya disertakan juga dengan kitab Safinatush Shalat dan penjelasan yang berasal dari guru/ustadz/kiayi mereka.
(فصل ) أركان الصلاة سبعة عشر : الأول النية ،الثاني تكبيرة الإحرام ، الثالث القيام على القادر في الفرض ،الرابع قراءة الفاتحة ، الخامس الركوع ، السادس الطمأنينة فية ، السابع الإعتدال ،الثامن الطمأنينة فيه ، التاسع السجود مرتين ،العاشر الطمأنينة فية ، الحادي عشر الجلوس بين السجدتين ، الثاني عشر الطمأنينة فية ،الثالث عشر التشهد الأخير ،الرابع عشر القعود فيه ،الخامس عشر : الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ،السادس عشر السلام ،السابع عشر الترتيب
Rukun shalat ada 17 : 1. Niat 2. Takbiratul ihram 3. Berdiri bagi yang mampu dalam shalat fardhu 4. Membaca al-Fatihah 5. Rukuk 6. Tuma’ninah diwaktu rukuk 7. I’tidah 8. Tuma’ninah diwaktu I’tidal 9. Sujud 10. Tuma’ninah diwaktu sujud 11. Duduk diantara dua sujud 12. Tuma’ninah diwaktu duduk diantara dua sujud 13. Tasyahud akhir 14. Duduk untuk membaca tasyahud 15. Membaca shalawat Nabi 16. Salam 17. Tertib
PENJABARAN RUKUN SHALAT
1. Niat 2. Takbiratul Ihram
Contoh shalat Dluhur, maka bacaannya sebagai berikut :
اصلي فرض الظهر أربع ركعات ركعتين مشتقبل القبلة اداء.... (مأموما) \ (إماما) لله تعالي “Ushalli fadlod-dhuhri arba’a raka’atin mustaqbilal qiblati ada-an ..(ma’muman/imaman) lillahi ta’alaa” Artinya, “Sengaja aku shalat dhuhur 4 raka’at menghadap kiblat karena Allah ta’alaa”.
Kemudian melakukan Takbiratul Ihram (الله أكبر) harus bersamaan dengan Niat shalat yang dilakukan didalam hati. Jika tidak bersamaan, maka shalatnya tidak sah. Niat tidak boleh mendahului takbir dan tidak (pula dilakukan) sesudah Takbir.
Penjelasan seputar Niat Shalat :
Pengertian niat adalah menyengaja melakukan sesuatu atau memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya. Niat dilakukan didalam hati, sebab merupakan amalan hati dan bersamaan dengan takbiratul Ihram. Takbiratul Ihram (الله أكبر) dilakukan dengan lisan (diucapkan).
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat mengatakan ;
النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ “niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
وهي قصد الشيء مقترناً بأول أجزاء فعله، ومحلها القلب. ودليلها قول النبي"إنما الأعمال بالنيات" "(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; ("إنما الأعمال بالنيات")"
Al-Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة )
قال الشافع: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده “..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”
Penjelasan-penjelasan seperti diatas bisa didapati dalam kitab-kitab ulama pada pembahasan shalat. Misal Al-Imam An-Nawawi didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير), Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada pembahasan (باب فرائض الصلاة), al-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16, Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30), Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan (فرائض الصلاة), Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43), Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة), Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج بشرح المنهاج) [II/12], Al-‘Allamah Al-Mahalli, didalam Syarah Mahalli Ala Minhaj Juz I (163), Al-Hujjatul Islam Al-'Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi'i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi' fi Kaifiyatis Shalat, Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) dan lain sebagainya.
Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
• Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”) • Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh. • Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal (ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah”) saja sudah cukup.
Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) mengadung pengertian sebagai berikut (Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ayn),
. وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله “Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.
وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة “Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)”
Imam Ibnu Rif’ah dan Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas (Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ )) tidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus kepada kewas-wasan.
Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul Ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ).
Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ ).
Menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek.
Penjelasan seputar Takbiratul Ihram :
Takbiratul Ihram didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari,
إذا قمت إلى الصلاة فكبر “Apabila kamu hendak berdiri melakjukan shalat, maka bertakbirlah”
Dinamakan takbiratul Ihram sebab orang yang mengerjakan shalat diharamkan melakukan sesuatu yang sebelumnya halal dilakukan. Contohnya, semua hal semisal makan, minum, dan lainnya adalah halal, namun ketika sudah takbiratul Ihram (shalat) semua itu diharamkan dilakukan dan bisa menjadi pembatal shalat.
Maksud dari takbir dilakukan pada awal shalat yang bersamaan dengan niat, mengandung pengertian agar orang yang mengerjakan shalat menghayati maknanya, yang menunjukkan keagungan Dzat yang kita siap mengabdi kepada-Nya, sehingga kita akan menyadari bahwa diri kita sangat lemah dan hanya Dia-lah Dzat yang Maha Besar, dengan begitu akan sempurnalah rasa takut dan kekhusuannya. Oleh karena itulah, dalam shalat takbir selalu diulang-ulang dalam setiap perpindahan rukun satu ke rukun yang lain.
Bacaan takbiratul Ihram adalah dengan lafadz (الله أكبر/Allahu Akbar) sebagai bentuk ittiba’ kepada Nabi (للاتباع) atau boleh dengan (الله الاكبر/Allahul Akbar). Selain itu, tidak boleh dan tidak disebut takbir. Contohnya seperti ; (الله كبير /Allahu Kabir), (الله أعظم /Allah uA’dham), (الرحمن أكبر /Ar-rahmanu Akbar) atau yang lainnya, semua itu bukan takbiratul Ihram. Penambahan “Alif Lam/AL/” pada lafadz takbir () adalah tidak masalah, hal ini dijelaskan dalam kitab Mughniy Muhtaj :
ولا تضر زيادة لا تمنع الاسم ) أي اسم التكبير ( كالله الأكبر ) بزيادة اللام لأنه لفظ يدل على التكبير وعلى زيادة مبالغة في التعظيم وهو الإشعار بالتخصيص فصار كقوله الله أكبر من كل شيء إذ معنى الله أكبر أي من كل شيء
“Dan tidak akan merusak adanya penambahan juga tidak mencegah penamaannya yaitu tetap dinamakan takbir seperti lafadz (الله الأكبر) dengan tambahan “lam” karena sesungguhnya lafadz tersebut tetap menunjukkan pada takbir dan atas penambahan yang berlebihan dalam hal pengagungan dan itu adalah sebuah isyarat dengan takhshish, maka jadilah seperti perkataan (الله أكبر من كل شيء) jika maksud (الله أكبر) adalah (maha mesar) dari segela sesuatu”
Mengeraskan bacaan Takbir adalah wajib hingga bisa terdengar diri sendiri,
(ويجب إسماعه) أي التكبير، (نفسه) إن كان صحيح السمع، ولا عارض من نحو لغط. (كسائر ركن قولي) من الفاتحة والتشهد والسلام. ويعتبر إسماع المندوب القولي لحصول السنة “Wajib memperdengarkan takbir terhadap dirinya sendiri jika orang tersebut pendengarannya sehat, dan juga tidak ada yang menghalangi seumpama kegaduhan (suara), demikian juga (wajib mengeraskan) pada seluruh rukun-rukun yang bersifat qauliyah (ucapan), semisal Al-Fatihah, Tasyahud dan salam. (hendaknya dibaca keras sekiranya dapat didengar dirinya sendiri) pada bacaan yang dihukmi mandub (sunnah) sepaya bisa mendapatkan kesunnahan (shalat)” [Fathul Mu’in]
Disunnahkan mengangkat kedua telapak tangan pada saat takbiratul Ihram atau salah satunya, jika memang sulit untuk mengangkat keduanya atau ada sebab lainnya dan harus dalam keadaan terbukan – jika tertutup hokumnya makruh-, jari-jari renggang antara satu dengan yang lainnya, tingginya sejajar dengan dua pundak (منكبيه).
Prakteknya sebagai berikut, dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in,
بحيث يحاذي أطراف أصابعه على أذنيه، وإبهاماه شحمتي أذنيه، وراحتاه منكبيه، للاتباع. وهذه الكيفية تسن “Ujung jari sejajar dengan ujung telinga, ibu jari sejajar dengan putik telinga, dan kedua tapak tangan sejajar dengan kedua pundak, karena Ittiba’ (mengikuti) Rasulullah. Cara seperti inilah yang disunnahkan”.
Dijelaskan dalam Kitab I’anah Thalibin tentang Ittaba’ yang dimaksud pada keterangan diatas, sebagai berikut ;
(قوله: للاتباع) دليل لسنية الرفع حذو منكبيه، وهو ما رواه ابن عمر: أنه كان يرفع يديه حذو منكبيه إذا افتتح الصلاة
“(Dan mengenai perkataan “lilittaba’”) dalil untuk kesunnahan mengangkat tangan sejajar pundak, adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar ; bahwa sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alayhi wa sallam mengangkat tangan sejajar dengan pundak ketika memulai shalat”
Disunnahkan juga meletakkan kedua tangan dibawah dada dan diatas pusat, sebagai bentuk Ittiba’ kepada Nabi, serta pergelangan kiri dipegang oleh tangan kanan. Berikut redaksinya,
Mengenai “Lil-ittiba’/karena mengikuti (Rasul)” diatas, dijabarkan dalam I’anah Thalibin sebagai berikut ;
(قوله: للاتباع) وهو ما رواه ابن خزيمة في صحيحه، عن وائل بن حجر، أنه قال: صليت مع النبي فوضع يده اليمنى على يده اليسرى تحت صدره “Mengenai (للاتباع) adalah sebagaimana diriwayatkan Ibnu Khuzaimah didalam kitab Shahihnya, dari Wail bin Hajar mengatakan, “aku shalat bersama Nabi, kemudian meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri dan dibawah dada”.
Didalam Nihayatuz Zain, karangan Al-Imam An-Nawawi Ats-Tsaniy, juga dijelaskan hal yang sama ;
(ووضعهما) أي الكفين (تحت صدره آخذاً بـيمينه يساره) أي قابضاً كوع يساره بكفه اليمنى ويجعلهما تحت صدره وفوق سرته مائلتين إلى جهة يساره قليلاً، لخبر مسلم عن وائل: «أنه رفع يديه حين دخل في الصلاة ثم وضع يده اليمنى على اليسرى»
Terjemahan bebas : “(disunnahkan) meletakkan kedua tangan dibawah dadanya, tangan kanan memegang tangan kiri yaitu pergelangan tangan kiri dipegang dengan telapak tangan kanan dan diletakkan dibawah dada serta diatas pusat agak condong (geser) kearah (sebelah) kiri sedikit, berdasarkan hadits Imam Muslim dari Wail ; sesungguhnya Nabi memasuki shalat mengangkat tangannya kemudian meletakkan tangan kanannya diatas tangan kiri”
Didalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzab karangan Al-Imam Hujjatul Islam An-Nawawi, 4/114, didalam kitab tersebut dijelaskan ;
واستحباب وضع اليمنى على اليسرى بعد تكبيرة الإحرام ويجعلهما تحت صدره فوق سرته هذا مذهبنا المشهور وبه قال الجمهور وقال أبو حنيفة وسفيان الثوري واسحاق بن راهويه وأبو إسحاق المروزي من أصحابنا يجعلهما تحت سرته وعن علي بن أبي طالب رضي الله عنه روايتان كالمذهبين وعن احمد روايتان كالمذهبين ورواية ثالثة أنه مخير بينهما ولا ترجيح وبهذا قال الأوزاعي وبن المنذر وعن مالك رحمه الله روايتان أحداهما يضعهما تحت صدره والثانية يرسلهما ولا يضع إحداهما على الأخرى وهذه رواية جمهور أصحابه وهي الأشهر عندهم وهي مذهب الليث بن سعد وعن مالك رحمه الله أيضا Terjemahan bebas, “Disunnahkan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri setelah takbiratul Ihram dan meletakkan keduanya dibawah dada dan diatas pusat, inilah yang Masyhur dari Madzhab kami (madzhab Syafi’iyyah), dan demikian juga Jumhur ulama dan Imam Abu Hanifah, dan Imam Sufyan Ats-Tsauriy, Imam Ishaq bin Rohawaih, Imam Abu Ishaq Al-Marwazi dari kalangan ashab kami (ulama syafi’iiyah) meletakkan keduanya (tangan kanan dan kiri) dibawah pusat, dan dari Ali bin Abi Thalib ada dua riwayat sebagaimana dua pendapat, dan Imam Ahmad ada dua riwayat/pendapat, dan ada riwayat ketiga yang memilih diantara dua keduanya dan tidak melakukan tarjih dan dalam hal ini berkata Imam Auza’iy dan Ibnu Mundzir , dan dari Imam Malik ada dua riwayat/pendapat salah satunya meletakkan keduanya (tangan kiri dan kanan) dibawah dada, dan yang kedua yaitu melepaskan (kebawah) dan tidak meletakkan pada salah satunya, inilah riwayat/pendapat jumhur ulama dalam madzhabnya dan yang masyhur dalam madzhab mereka yaitu madzhab Laits bin Said dan juga dari Imam Malik rahimahullah”
Didalam Al-Lubab Fil Fiqh Asy-Syafi’I, Al-Imam Al-Qadhi Abu Al-Hasan al-Mahamili,
رفع اليدين عند الإحرام مع التكبير حذو المنكبين، وأن يمدهما عند الرفع مدّا، وأن ينشر أصابعهما نشرا وأن يضع يده اليمنى على اليسرى، وأن يجعلهما تحت صدره “..dan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri, serta menaruhnya dibawah dadanya”
Didalam Kifayatul Akhyar (1/113),
يستحب أن يضع كفه اليمين على اليسرى ويقبض بكف اليمنى كوع اليسرى ثبت ذلك عن فعله صلى الله عليه وسلم “dan disunnahkan untuk meletakkan telapak tangan kanan diatas tangan kiri, dan telapak tangan kanan menggenggam pergelangan tangan kiri, penetapan yang demikian berdasarkan pada perbuatan Rasulullah”
Demikian mengenai meletakkan tangan setelah takbiratul Ihram, jika terjadi perbedaan masalah ini hanya masalah khilafiyah diantara ulama dan pendapat apapun yang dipegang kita harus menghormati selama berpegang pendapat yang benar.
Penjelasan Tambahan ;
Dari penjelasan diatas, kita sudah tahu bahwa shalat sudah dimulai manakala kita sudah ber-Takbir (Takbiratul Ihram) yang bersamaan dengan Niat. Adapun sebelum itu, belum masuk pada bagian shalat. Jadi melafadzkan niat atau mengucapkan “Ushalli fadlod-dhuhri arba’a raka’atin mustaqbilal qiblati ada-an ..(ma’muman/imaman) lillahi ta’alaa” itu dilakukan sebelum masuk shalat. Mengucapkan yang demikian dihukumi sebagai sunnah, apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila tidak dikerjakan tidak apa-apa. Tidak termasuk menambah-nambah rukun shalat, sebab mengucapkan niat/melafadzkan niat bukan bagian dari rukun shalat dan dilakukan sebelum shalat. Pahamilah, bahwa dinyatakan telah memasuki shalat jika sudah takbiratul Ihram yang bersamaan dengan niat, sebelum itu bukan.
Kesunnahan mengucapkan niat/melafadzkan niat bisa dilihat dalam keterangan dalam kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, Kasyfuh As-Saja karangan Al-Imam Nawawi Al-Bantani (Ats-Tsaniy), al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12), Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 , Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli (Imam Ramli) terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 , Asy-Syeikhul Islam Al-Imam Al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] , Hasyiyatul Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal, Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150), Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat, Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153], Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163), dan berbagai kitab ulama madzhab lainnya.
Kami kutipkan salah satu keterangan kesunnahan tersebut dari sekian banyak kitab ulama yang disebutkan diatas, dari al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”
_____________ Demikian uraian awal mengenai Shifatush Shalah, InsyaAllah pada kesempatan berikutnya akan membahas rukun shalat yang ketiga dan keempat, disertai dengan sunnah-sunnah yang dilakukan. Wallahu subhanahu wa ta'alaa 'alam Abdurrohim Ats-Tsauriy
"(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)" [Kitab Matan Al-Minhaj, Lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i]
Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh. Contoh melafadzkan niat adalah membaca “ushulli fardhush shubhi rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”, hal semacam ini biasa dibaca oleh kalangan Muslimin (terutama di Indonesia) sebelum Takbiratul Ihram artinya dibaca sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan shalat dan bukan bagian dari rukun shalat.
Seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة ) ;
قال الشافع: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
“..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”
Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;
. (مقرونا به) أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به،
“..Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adl rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat”
Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير)
يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان “diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada pembahasan (باب فرائض الصلاة) ;
النية، والتكبير، ومقارنة النية للتكبير "Niat dan Takbir, niat bersamaan dengan takbir"
Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30) :
وتكون النية مقارنة للتكبير لا يجزئه غيره والتكبير أن يقول ألله أكبر أو الله الأكبر لا يجزئه غير ذلك "dan adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir yaitu mengucapkan (ألله أكبر) atau ( الله الأكبر), selain yang demikian tidaklah cukup (bukan takbir)."
Jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan). Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk dalam bagian dari (rukun) shalat.
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا “niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه “sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup,
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;
النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ “niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة)]
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان “Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”
Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada bab باب فرائض الصوم
لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih), tempatnya niat didalam hati, dan tidak syaratkan mengucapkannya tanpa ada khilaf”
Keterangan : pada bab Fardhu Puasa ini, mengucapkan niat tidak disyaratkan artinya bukan merupakan syarat dari puasa. Dengan demikian tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah. Demikian juga dengan shalat, melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan merupakan syarat dari shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun shalat). Jadi, baik melafadzkan niat (talaffudz binniyah) maupun tidak, sama sekali tidak menjadikan shalat tidak sah, tidak pula mengurangi atau menambah-nambah rukun shalat.
Al-Hujjatul Islam Al-'Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi'i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi' fi Kaifiyatis Shalat ;
"niat dengan hati dan bukan dengan lisan"
Semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati (tidak ada cap bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati. Demikian juga dengan niat shalat adalah didalam hati, sedangkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula aktifitas hati (bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan. Niat dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat yang akan dilakukan. Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya sesuatu. Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;
" Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.
Sebagaimana juga dikatakan didalam kitab Fathul Qarib :
وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ “niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”
وهي قصد الشيء مقترناً بأول أجزاء فعله، ومحلها القلب. ودليلها قول النبي"إنما الأعمال بالنيات" "(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; ("إنما الأعمال بالنيات")"
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج)
وهي شرعا قصد الشيء مقترنا بفعله وأما لغة فالقصد "(niat) menurut syara' adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut lughah adl menyengaja"
Maka, selagi lagi kami perjelas. Niat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ) “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول : " نويت العمرة ، أو نويت الحج
Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”
Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس. Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس ..selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Aku (Imam Syafi'i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur'an maka itu hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.
Ulama Syafi’iyyah lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;
. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati.."
Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ;
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ "dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai"
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ;
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس "Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)"
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat ;
ويندب النطق قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب "dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati"
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] ;
(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله: ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي “[disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ “dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Selain itu lafadz niat adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
Berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.
Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang beramal ASBED (asal beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain, tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama dan menuduh ulama-ulama Madzhab yang telah mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafi’iiyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam kitab ulama syafi’iiyah lainnya, seperti Hasyiyah al-Bajury I/149, Mughny al-Muhtaj I/148-150. 252-253, al-Muhadzab I/70, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab III/243-252.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Dengan demikian ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat sebagai amal bagi hamba tersebut.
‘Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir 35 : 10)
Maka demikian, melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah berdasarkan ayat al-Qur’an diatas.
Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafi’iiyah juga mensunnahkan melafadzkan niat, misalnya ; Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyah) berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunnah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. [al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66]
Mazhab Hanbali (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. [al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370]
Mazhab Maliki (Ulama Malikiyah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan [asy-Syarhu ash-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305, al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520]
DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : "Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki." Didalam kitab yang sama juga diterangkan mengenai pendapat madzhab Maliki, jilid I/214 bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan".
Hal-Hal Yang Berkaitan :
- Perihal Hadits(إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى), “Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan” [Arba’in an-Nawawi, hadits pertama (متفق عليه)]
Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, namun mengenai niat sebagai syarat sahnya sebuah amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah amalan. Sebagaimana shalat juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati. Berbeda dengan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya adalah lisan dan bukan merupakan rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakan atau tidak, tidak merusak pada sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.
- Perihal Jawaban Imam Ahmad: Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir?" Jawab beliau, " tidak usah". [Lihat Masa'il Abi Dawud (hal.31)]
Dalam Masa’il Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak membid’ahkan, beliau hanya mengatakan tidak usah.
- Perihal Ulama Yang Mewajibkan (Melafadzkan niat)
Ini kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham atau disalah pahami untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (Nihayatul Muhtaj) dan Al-'Allamah Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu'in), bahwa penetapan hukum sunnah terhadap melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga bermaksud menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.
Perlu diketahui bahwa ulama yang mewajibkan (talaffudz binniyah) juga dinisbatkan kepada madzhab Syafi'iyyah sebab memang masih bermadzhab Syafi'i. Beliau adalah Abu Abdillah az-Zubairiy (أبي عبد الله الزبيري). Beliau mewajibkan melafadzkan niat berdasarkan pemahamannya terhadap perkataan Imam Syafi'i tentang "an-Nuthq (النطق). Menurut pemahaman beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan "an-nuthq (النطق)" adalah melafadzkan niat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan an-Nuthq (النطق) adalah Takbir (Takbiratul Ihram), menurut Al-Imam Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu' (II/43) ;
، لأن الشافعي رحمه الله قال في الحج : إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ ، وإن لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق "Karena sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi'i berkata didalam (Bab) Haji : "apabila seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan melafadzkannya (an-Nuthq)"
Jadi, beliau (Abu Abdillah az-Zubairiy ) mengira bahwa Imam Syafi'i memasukkan talaffudz binniyah menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, padahal tidak demikian.
Maka, itu sebabnya pendapat yang mewajibkan ini dikatakan syad (menyimpang) oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy didalam Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج " dan (juga) untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang)"
Imam an-Nawawi didalam kitab Al-Majmu' (II/43) juga menjelaskan kekeliruan tersebut.
قال أصحابنا : غلط هذا القائل ، وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا ، بل مراده التكبير "beberapa shahabat kami berkata : "Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dengan kata "an-Nuthq (melafadzkan)" di dalam shalat, tetapi yang dikehendaki adalah Takbir (Takbiraul Ihram)"
Sementara lihatlah begitu indah perkataan Imam Nawawi, Imam Nawawi menyebut Syekh Abu Abdillah az-Zubairy dengan sebutan "Ashabinaa", walaupun Imam Nawawi tidak menyetujui pendapatnya. Tauladan yang sangat terpuji dalam menyikapi khilafiyah.
Jadi, pendapat yang dianggap menyimpang/keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari syarat sah shalat. Sebab mewajibkan talaffudz binniyah sama saja telah masukkannya sebagai bagian dari shalat. Maka yang sebenarnya tidak dikehendaki adalah dalam hal mewajibkannya bukan kesunnahan melafadzkan niat. []
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ الحمد لله رب العالمين اللهم صل على محمد وعلى آل محمد وسلم أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله أما بعد
Salah satu adab dalam bermadzhab adalah saling menghargai perbedaan dalam masalah furu’ (cabang agama), tidak ngotot memaksakan pendapatnya dalam masalah furu’ apalagi hingga menyalahkan, sebab diantara ulama pun terjadi perbedaan (khilafiyah) dan mereka tetap bisa saling memahami pendapat ulama lainnya bahkan diantara mereka saling memuji.
Oleh karena itu, mari kita lihat pendapat ulama yang tepat tentang shalat berjamaah. Didalam madzhab Syafi’iyyah hokum shalat jamaah dalam shalat 5 waktu (maktubah) –selain shalat jum’at- adalah Sunnah Muaakkad, ulama syafi’iiyah lainnya berpendapat hukumnya Fardhu kifayah, dimana jika dalam sebuah wilayah ada sebagian yang mendirikan kefardhuan ini maka gugurlan bagi yang lainnya. Imam Nawawi mengatakan bahwa hokum shalat berjamaah yang Ashah adalah fardlu kifayah (فرض كفاية) bagi laki-laki yang baligh, merdeka dan bermukim.
Didalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzab, al-Imam al-Hujjah asy-Syeikhul Islam an-Nawawi, (terbitan Darl el-Fikr, Beirut – Lebanon), disebutkan sebagai berikut ;
قال المصنف رحمه الله تعالى : اختلف أصحابنا في الجماعة فقال أبو العباس وأبو إسحاق : هي فرض كفاية يجب اظهارها في الناس ، فإن امتنعوا من إظهارها قوتلوا عليها وهو المنصوص في الإمامة . والدليل عليه ما روى أبو الدرداء رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من ثلاثة في قرية ولا بدو لا تقام فيهم الصلاة إلا قد استحوذ عليهم الشيطان . عليك بالجماعة فإنما يأخذ الذئب من الغنم القاصية ومن أصحابنا من قال : هي سنة لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : صلاة الجماعة أفضل من صلاة أحدكم وحده بخمس وعشرين درجة
Juga didalam kitab As-Sirajul Wahaj ‘alaa Matan al-Minhaj, Al-‘Allamah Al-Imam Muhammad Az-Zuhriy al-Ghamrawiy, Dar el-Ma’reefah ;
كتاب صلاة الجماعة وأقلها إمام ومأموم هي في الفرائض غير الجمعة سنة مؤكدة ولو للنساء وقيل فرض كفاية للرجال فتجب بحيث يظهر الشعار في القرية فلو أطبقوا على إقامتها في البيوت ولم يظهر شعار لم يسقط الفرض فإن امتنعوا كلهم قوتلوا أي قاتلهم الإمام وعلى القول بأنها سنة لا يقاتلون ولا يتأكد الندب للنساء تأكده للرجال في الأصح ومقابله يتأكد في حقهن قلت الأصح المنصوص أنها فرض كفاية لرجال أحرار مقيمين لا عراة في مكتوبة أداء وقيل فرض عين بالشروط المذكورة والله أعلم
Ada juga yang mengatakan (qil), bahwa shalat berjamaah adalah fardhu aiyn dengan syarat-syarat tertentu, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Fathul Wahab bisyarhi minhaj at-Thullab, Al-Imam Zakariyya Abu Yahya Al-Anshariy, Dar Kutub al-Ilmiyyah, Beirut – Lebanon :
كتاب صلاة الجماعة وأقلها إمام ومأموم هي في الفرائض غير الجمعة سنة مؤكدة ولو للنساء وقيل فرض كفاية للرجال فتجب بحيث يظهر الشعار في القرية فلو أطبقوا على إقامتها في البيوت ولم يظهر شعار لم يسقط الفرض فإن امتنعوا كلهم قوتلوا أي قاتلهم الإمام وعلى القول بأنها سنة لا يقاتلون ولا يتأكد الندب للنساء تأكده للرجال في الأصح ومقابله يتأكد في حقهن قلت الأصح المنصوص أنها فرض كفاية لرجال أحرار مقيمين لا عراة في مكتوبة أداء وقيل فرض عين بالشروط المذكورة والله أعلم وليست بشرط في صحة الصلاة و هي في المسجد لغير المرأة والخنثى أفضل منها في غير المسجد وما كثر جمعه أفضل مما قل جمعه إلا لبدعة إمامه كرافضي ومثله من لا يعتقد وجوب بعض الأركان أو الشروط
Pendapat yang mengatakan fardhu ain itu adalah dari Madzhab Imam Ahmad, didalam Kitab Fathul Mu’in Bisyahri Qurratu ‘Ayn hal.34, ta’lif Al-‘Allamah Al-‘Alim Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibariy (Asy-Syafi’i), disebutkan sebagai berikut ;
قال النووي: والاصح أنها فرض كفاية للرجال البالغين الاحرار المقيمين في المؤاداة فقط، بحيث يظهر شعارها بمحل إقامتها، وقيل إنها فرض عين - وهو مذهب أحمد –
Adapun Ulama lainnya, seperti madzhab Malikiyah ada yang berpendapat sunnah muakkad, ada juga yang pendapat fardhu kifayah, dituturkan didalam kitab Al-Fiqh ‘alaa Madzahib Al-Arba’ah liSyekh Abdirrahman Al-Jaziriy,
(المالكية قالوا: في حكم الجماعة في الصلوات الخمس قولان: أحدهما مشهور، والثاني أقرب إلى التحقيق، فأما الأول فهو أنها سنة مؤكدة بالنسبة لكل مصل، وفي كل مسجد، وفي البلد الذي يقيم به المكلف، على أنه إن قام بها بعض أهل البلد لا يقاتل الباقون على تركها، وإلا قوتلوا لاستهانتهم بالسنة، وأما الثاني فهو أنه فرض كفاية في البلد، فإن تركها جميع أهل البلد قوتلوا؛ وإن قام بها بعضهم سقط الفرض عن الباقين
Hukum shalat berjamaah menurut ulama Hanafiyah, adalah sunnah ‘ain muakkad. Namun menurut ulama Hanafiyah, sunnah ain muakkad itu sama dengan wajib karena bagi yang meninggalkan juga berdosa yang sedikit, disebutkan dalam Al-Fiqh ‘alaa Madzahib Al-Arba’ah liSyekh Abdirrahman Al-Jaziriy ;
الحنفية قالوا: صلاة الجماعة في الصلوات الخمس المفروضة سنة عين مؤكدة، وإن شئت قلت هي واجبة، لأن السنة المؤكدة هي الواجب على الأصح؛ وقد عرفت أن الواجب عند الحنفية أقل من الفرض، وأن تارك الواجب يأثم إثماً أقل من إثم تارك الفرض
Demikianlah sekilas pendapat ulama mengenai shalat jamaah, jadi untuk apa kita ambil pusing dengan pendapat artikel-artikel yang cenderung memaksakan kehendaknya hingga mengatakan pengikut madzhab sebagai fanatik buta terhadap madzhab, toh ulama yang lebih mumpuni sudah menjelaskan semuanya dan ulama-ulama besar kaum Muslimin bermadzhab. Dan apapun pendapat ulama namun mereka semua sangat menganjurkan shalat berjamaah hingga ada yang mewajibkan (fardlu 'ain). Adapun bagi yang mengambil pendapat sunnah Muakkad maka jangan sampai meremehkannya dan sebisa mungkin melaksanakan shalat berjamaah, minimal hanya terdiri dari imam dan makmun saja (وأقلها إمام ومأموم).
Banyak kalangan menuliskan artikel-artikel di internet dan buku-buku yang mengatakan bahwa yang pertama merayakan Maulid Nabi adalah orang “ini” dan orang “itu” serta pada “zaman ini” dan “zaman itu”. Namun, ujung-ujungnya hanya dimanfaatkan sebagian kecil kalangan yang memang tidak senang dengan perayaan maulid Nabi (para pengingkar Maulid) untuk menolak perayaan Maulid Nabi Asy-Syarif bahkan mengharamkannya.
Sebagaimana dikatakan oleh Assayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, “Hendaknya kita tidak perlu memperdulikan perkataan orang-orang mengatakan, “sesungguhnya perayaan Maulid Nabi diperingati pertama kali oleh orang-orang pemerintahan dinasti Fathimiyyah (penguasa Mesir terdahulu)”. Sebab perkataan seperti ini muncul entah ketidak tahuan mereka atau pura-pura buta akan kebenaran”. [1]
Ketahuilah, bahwa sebenarnya yang pertama kali merayakan atau memperingati Maulid adalah shahibul Maulid sendiri yaitu Baginda Nabi Muhammad Shallahu’alayhi wa sallam, manusia pilihan yang kita juga peringati hari kelahirannya. Hal ini sebagaimana yang terdapat nas-nas (Hadits Shahih), salah satunya yang diriwayatkan oleh A-Imam Muslim didalam kitab Shahih beliau :
وحدثني زهير بن حرب حدثنا عبدالرحمن بن مهدي حدثنا مهدي بن ميمون عن غيلان عن عبدالله بن معبد الزماني عن أبي قتادة الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل عن صوم الاثنين ؟ فقال فيه ولدت وفيه أنزل علي “Sesungguhnya ketika Rasulullah (صلى الله عليه و سلم) ditanya tentang puasa hari Senin ? Maka beliau menjawab : “padanya adalah (hari) aku dilahirkan dan didalamnya diturunkan (al-Qur’an) kepadaku” [2]
Inilah nas yang shahih dan paling jelas tentang peringatan Maulid Nabi. Inilah bentuk pengagungan Rasulullah dan rasa syukur kepada Allah pada hari itu atas nikmat-Nya yang agung kepada beliau. Beliau mengungkapkan pengagungan itu dengan cara berpuasa. Ini semakna dengan perayaan Maulid Nabi dalam bentuk-bentuk yang lain (selain puasa). Sebab masalah teknis (tatacara) dan bentuk peringatan tersebut adalah perkara Ijtihadiyah dan apa yang dikerjakan didalamnya hendaknya dikembalikan asal dari status hokum pekerjaan tersebut. Dan merayakan maulid bisa berupa berdzikir, bershalawat, bersyair dan mendengarkan sifat dan kisah tentang beliau. Sebagaimana yang katakan (disarankan) oleh Syeikhul Islam Al-Hujjah Al-Imam Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Ahmad Ibnu Hajar :
وأما ما يعمل فيه فينبغي أن يقتصر فيه على ما يفهم الشكر لله تعالى من نحو ما تقدم ذكره من التلاوة والإطعام والصدقة وإنشاد شيء من المدائح النبوية والزهدية المحركة للقلوب إلى فعل الخير والعمل للآخرة “dan adapun perkara yang dikerjakan didalamnya (didalam perayaan Maulid Nabi), maka hendaklah dibatasi pada sesuatu yang merupakan rasa syukur kepada Allah ta’alaa sebagaimana yang telah disebutkan yang lalu, yaitu tilawah (membaca al-Qur’an) , memberikan makanan, bershadaqah, melantunkan (menyanyikan) sesuatu dari puji-pujian Nabawi dan (syair) tentang kezuhud-an (zuhudiyah) yang (bisa) menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan beramal untuk akhirat”.[3]
Hadits Shahih riwayat Imam Muslim diatas tentang Maulid Nabi juga didukung dengan berbagai pendapat Ulama yang benar-benar mumpuni serta luas ilmunya, diantaranya seperti yang bergelar Al-Hafidz, Al-Musnid, Al-Muhaddits, Al-Imam, Asy-Syeikhul Islam, Al-Hujjatul Islam, Al-Muarrikh, dan lain-lain. Ketahuilah bahwa gelar “Al-Imam” adalah diberikan bagi seorang ulama agung dan sangat diakuti otoritas keilmuannya. “Al-Hafidz”, seorang yang menghafal al-Qur’an dengan baik dan menghafal al-Hadits dalam jumlah yang banyak. Juga ketahuilah bahwa “Al-Hujjah” adalah gelar yang hanya diberikan kepada ulama yang benar-benar menguasai secara seksama 300.000 (tiga ratus ribu) hadits baik dari segi matan (redaksi hadits), sanad (mata rantai perawi hadits) dan juga sifat para perawinya satu-persatu. Ulama sekaliber ini yang mereka ingkari, maka sesungguhnya walaupun mereka (para pengingkar) itu menganggap dirinya (merasa) pintar namun sejatinya mereka awam (sebab keangkuhannya), yang telah ‘mereka’ ingkari adalah ulama umat yang alim, banyak jasa-jasanya terhadap Islam dan sulit dicari yang sepadan dengannya, khususnya pada zaman (abad-abad) ini. Maka hendaklah para pengingkar Maulid itu insaf dan berkaca siapa diri mereka dan siapa yang mereka ikuti.
SEKILAS ESTAFET PERINGATAN MAULID NABI ASY-SYARIF
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa indikasi kebolehan memperingati Maulid Nabi itu ada dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan bahwa beliau berpuasa karena hari senin adalah hari kelahiran beliau. Sesungguhnya peringatan Maulid Asy-Syarif merupakan peringatan yang berkesinambungan dari dahulu hingga abad ini. Hal ini bisa di ketahui dari berbagai kitab-kitab Ulama yang menjelaskan Maulid Nabi. Didalam Kitab Madaarijussu’uud (مدارج السعود) disebutkan sebagai berikut, [4]
عن أبي بكر الصديق: من أنفق درهما فى مولد النبي صلى الله عليه وسلم كان رفيقي فى الجنة “Dari Abu Bakar ash-Shiddiq , “barangsiapa yang menafkahkan harta untuk keperluan maulid Nabi Muhammad (صلى الله عليه وسلم) maka akan menjadi temanku nanti di surga.” عن عمر ابن الخطاب رضي الله عنه: من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد أحيا الإسلام “Dari Umar bin al-Khattab, “barangsiapa yang memuliakan (mengagungkan) kelahiaran Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam maka benar-benar ia telah menghidupkan agama Islam.” عن عثمان ابن عفان رضي الله عنه: من أنفق درهما على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم فكأنما شهد يوم وقعة بدر وحنين “Dari (sayyidina) Utsman bin ‘Affan , “barangsiapa yang menafkahkan harta untuk perayaan maulid Nabi Muhammad (صلى الله عليه وسلم) maka seolah-olah ia syahid di perang Badar dan Khunain.” عن علي ابن أبي طالب كرم الله واجهه ورضي الله عنه: من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم لا يخرج من الدنيا الا بالإيمان “Dari (sayyidina) ‘Aliy bin Abi Thalib karramallu wajhah dan radliyallah ‘anh, “barangsiapa yang mengagungkan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) maka ia tidak akan keluar dunia, kecuali membawa iman kepada Allah”.
Atsar seperti diatas banyak di temui dalam kitab-kitab ulama, seperti juga tercantum dalam kitab “Ruhul Bayan (روح البيان) dan yang lainnya. Masa sahabat ini juga merupakan masa shalafush shaleh generasi awal.
Maulid Nabi Pada Masa Salafush Shaleh Berikutnya
Setelah masa sahabat, generasi shalafush shaleh berikutnya (yaitu masa tabi’in dan tabiut tabi’in) juga memperingati maulid Nabi. Maulid Nabi pada masa ini adalah sebuah majelis yang didalamnya dilakukan pembacaan kisah-kisah Maulid Nabi. Dari keterangan yang disampaikan oleh para Imam generasi shalafush shaleh serta kitab-kitab ulama, menunjukkan bahwa pada masa ini mereka mengumpulkan saudara-saudaranya sesama kaum Muslimin dalam sebuah majelis, memberikannya makan serta dilakukan pembacaan Maulid Nabi, tidak hanya itu bahkan dalam peringatan itu mereka memakai wangi-wangian serta menghidupkan pelita. Semua itu mereka lakukan semata-mata untuk memperingati dan mengagungkan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Nama-nama ulama pada kurun ini yang menjelaskan pendapatnya tentang masalah Maulid Nabi, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab muktabar, antara lain adalah ;
- Al-Imam Hasan Al-Bashriy rahimahullahi ta’alaa (wafat 116 H)
Imam Hasan Al-Bashriy adalah salah satu ulama terkemuka generasi tabi’in (salafush shaleh), guru besar di kota Bashrah, Irak. Seorang alim yang terkemuka dari kaum Muslimin, seorang ahli fqih, ahli ibadah, seorang yang bertakwa, dan wira’i, dikenal dengan kefasihan lisannya, penjelasannya yang indah mengharukan, ahli hikmah, zuhud, dan yang luas ilmunya. Beliau pernah berjumpa sekitar 100 sahabat Nabi pada masa hidupnya.
Ayah beliau adalah mengabdi kepada Zaid bin Thabit Al-Anshariy radliyallahu ‘anh (زيد بن ثابت الأنصاري) yaitu salah seorang sahabat Rasulullah, yang terkenal sebagai penulis wahyu Allah dan surat-surat Baginda Rasulullah. Sahabat Zaid bin Thabit Al-Anshariy wafat pada tahun 15 H dan anak beliau yang bernama Kharijah bin Zaid, menjadi salah satu generasi tabi’in besar dan merupakan satu diantara ulama-ulama fiqh Madinah pada masanya.
Sedangkan ibunda dari Al-Imam Hasan Al-Bahsriy bernama Khayrah (خَيْرَةُ) adalah pelayan kepada Ummu Salamah. Beliau (Imam Hasan) dilahirkan pada 2 tahun terakhir sebelum wafatnya Amirul Mukminin Umar al-Khattab.
Imam Hasan Al-Bashriy juga pernah memegang jabatan sebagai Qadhi di Bashrah pada tahun 102 H, namun beliau tidak mengambil upah dari jabatannya. Wafat pada tahun 116 H dalam usia 89 tahun. Berikut adalah beberapa pendapat ulama mengenai Al-Imam Hasan Al-Bashriy, [5]
قال محمد بن سعد كان الحسن -رحمه الله- جامعا، عالما، رفيعا، فقيها، ثقة، حجة، مأمونا، عابدا، ناسكا، كثير العلم، فصيحا، جميلا، “Imam Muhammad bin Sa’ad (168 H) berkata, “Al-Hasan –rahimahullah- adalah orang yang suka melakukan shalat berjamaah, ‘alim, terhormat, ahli fikih, tsiqah (terpercaya), pandai berdebat (al-Hujjah), ahli ibadah, berperawakan sempurna, banyak ilmu, fasih berbicara dan tampan mempesona”.
وعن أبي بردة، قال: ما رأيت أحدا أشبه بأصحاب محمد -صلى الله عليه وسلم- منه “dan dari Abu Burdah, dia berkata, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang menyerupai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam kecuali dia.”
حميد بن هلال: قال لنا أبو قتادة الزموا هذا الشيخ، فما رأيت أحدا أشبه رأيا بعمر منه -يعني: الحسن “dari Humaid bin Hilal, dia berkata, “Abu Qatadah telah berkata kepada kami, “Patuhilah (bergurulah dengan) orangtua ini, karena aku belum pernah melihat seorang pun yang menyerupai pendapat Umar bin al-Khaththab kecuali dia yakni Al-Hasan.”
وعن أنس بن مالك، قال: سلوا الحسن، فإنه حفظ ونسينا “dan dari Anas bin Malik, berkata ; “bertanyalah kalian semua kepada Al-Hasan, sebab sesungguhnya di kuat hafalannya dan kami lupa”
وقال قتادة: كان الحسن من أعلم الناس بالحلال والحرام “dan Qatadah berkata, “Al-Hasan termasuk orang yang paling tahu tentang halal dan haram”
قال هشام بن حسان: كان الحسن أشجع أهل زمانه “Hisyam bin Hasan berkata, Al-Hasan adalah orang yang paling pandai pada masanya”
وقال أبو عمرو بن العلاء: ما رأيت أفصح من الحسن “dan Abu Umar bin al-‘Ala’, aku tidak pernah melihat orang yang lebih fashih dari al-Hasan”
وقال السري بن يحيى: كان الحسن يصوم: البيض، وأشهر الحرم، والاثنين، والخميس “dan As-Sariy bin Yahya, Al-Hasan sering berpuasa pada al-Bidl (13,13,15 pada bulan Qamariyah), pada asyhur al-hurum, dan setiap senin kami”
Tentang Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anatut Thalibin, [6]
قال الحسن البصري، قدس الله سره: وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا لانفقته على قراءة مولد الرسول “Seandainya aku memiliki emas seumpama gunung Uhud, niscaya aku akan menafkahkannya (semuanya) kepada orang yang membacakan Maulid ar-Rasul”.
Pada masa-masa setelah Imam Hasan Al-Bashriy, Imam Ibnu Ishaq (wafat 151 H) menulis kitab Maghazi yaitu kitab manakib atau perilaku kehidupan Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam. Beliau menulis dengan indah dan cemerlang dalam menguraikan riwayat Maulid Nabi serta menjelaskan berbagai manfaat yang dapat dipetik dari bentuk-bentuk peringatan, seperti walimah, shadaqah dan kebajikan-kebajikan lainnya yang semuanya bersifat ibadah. [7]
Dikisahkan dalam kitab Wafa Al-Wafa bi Akhbari Daril Mushthafa karangan Al-‘Allamah Nuruddin ‘Ali, bahwa pada tahun 170 Hijriyah, ibunda Musa Amirul Mukminin (bergelar Al-Hadi) yaitu siti Khaizuran sengaja datang ke Madinah Al-Munawwarah, lalu memerintahkan masyarakat agar menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam didalam Masjid Nabawi.
Nama lengkap beliau adalah Ma’aruf al-Kurkhiy Abu Mahfudz Al-Baghdadiy (معروف الكرخي أبو محفوظ البغدادي), beliau adalah generasi shalafush shaleh yang alim, zuhud, terkenal dengan dikalangan fukaha’ sebagai orang yang Fakih. Ayah beliau bernama Fairuz. Ada yang mengatakan (qil) bahwa ayah beliau beragama Shabi’ah, namun ada juga yang mengatakan ayahnya beragama Nashraniy. Ma’ruf al-Kharkiy diminta untuk mengatakan bahwa tuhan adalah salah satu dari yang tiga, namun beliau membahtah dengan mengatakan,
فيقول معروف: بل هو الواحد “maka Ma’aruf mengatakan, bahkan Dia itu Esa”
Kemudian Ma’aruf dipukul dan kabur untuk bersembunyi, kemudian beliau memeluk Islam dan setelah pulang keduanya orang tuanya masuk Islam. Beliau mempelajari agama, antara lain kepada Imam Daud Ath-Thaiy (داود الطائي) , juga diriwayatkan belajar dari Imam Bakar bin Khumaits (بكر بن خنيس), Rabi’ bin Shahih (الربيع بن صبيح), Ibnu As-Samak (ابن السماك) dan lain-lain. Beliau membuka majelis ilmu, dimana salah satu muridnya yang sangat terkenal hingga saat ini adalah Al-Imam As-Sariy As-Saqathiy (السري السقطي). Imam Ahmad hidup pada masa beliau dan Imam Ahmad sangat memuji Imam Ma’aruf. [8]
Suatu hari ketika sedang berpuasa Sunah, Maruf Al Karkhi rahimahullah berjalan melewati seorang yang membagi bagikan air secara gratis. Dengan suara lantang lelaki itu berkata : “Semoga Allah merahmati orang yang mau minum air ini” Mendengar ucapannya, Ma’ruf Al-Karkhi rahimahullah berhenti dan meminum air tersebut. “Bukankah engkau sedang berpuasa”? Tanya seseorang kepadanya. Benar, tetapi aku berharap mendapat rahmat Allah sebagaimana doa lelaki tersebut. [9]
Tentang peringatan Maulid Nabi, Imam Ma’aruf Al-Karkhiy mengatakan,
قال معروف الكرخي قدس الله سره: من هيأ لاجل قراءة مولد الرسول طعاما، وجمع إخوانا، وأوقد سراجا، ولبس جديدا، وتعطر وتجمل تعظيما لمولده حشره الله تعالى يوم القيامة مع الفرقة الاولى من النبيين، وكان في أعلى عليين “Al-Imam Ma’aruf Al-Kurkhiy Qaddasallahu sirrah, barangsiapa menyajikan makanan untuk pembacaan Maulid ar-Rasul, mengumpulkan saudara-saudaranya, menghidupkan pelita dan memakai pakaian yang baru dan wangi-wangian dan menjadikannya untuk mengagungkan kelahirannya (Maulid Nabi), maka Allah akan membangkitkan pada hari qiyamat beserta golongan yang utama dari Nabi-Nabi , dan ditempatkan pada tempat (derajat) yang tinggi”. [10]
Inilah Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, beliau adalah penolang As-Sunnah sehingga disebut “Nashirus Sunnah”, serorang Al-Hafidz dan Al-Muhaddits. Nasab Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay. Abdul Manaf bin Qusyai yang menjadi kakek ke-9 Imam Syafi’I adalah Abdul Manaf bin Qushai yang juga menjadi kakek ke-4 Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam. Imam Asy-Syafi'i juga pernah berguru kepada Ar-Ra'i (Ahli Tashawuf).
Dalam kitab Madarijus Suu’ud, disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan tentang Maulid Nabi, [11]
قال الشافعى رحمه الله من جمع لمولد النبى صلى الله عليه وسلم اخوانا وتهياء لهم طعاما وعملا حسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين “Al-Imam Asyt-Syafi’i rahimahullah berkata, “barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) karena kecintaan (ikhwanan) secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin. kemudian mereka berada di dalam Jannatun Nai’iim”.
Pada masa ini juga hidup seorang Imam Al-‘Allamah Utsman bin Sind, beliau wafat pada tahun 205 H dan pernah menulis kitab Maulid dalam bentuk sya’ir dengan tema memuji dan mengagungkan Rasulullah. Al-Imam Al-Hafidz Hujjatul Islam Al-Qadhi ‘Askar Amirul Mu’minin Muhammad Al-Mahdi Al-‘Abbasi, wafat tahun 207 H. Beliau termasuk orang pertama yang menulis kitab Maulid Nabi yang kemudian dibaca didepan umum dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh para penguasa Khilafah Daulah Abassiyah. Imam ini adalah orang pertama yang menghimpun hadits-hadits para sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mengenai kebajikan dan pahala membaca riwayat Maulid Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Sedangkan para imam lainnya dalam menulis kitab-kitab maulid banyak mengambil dari Al-Waqidi, kitab rujukan yang banyak dibaca dalam peringatan-peringatan maulid yang diadakan oleh para Khalifah dan menteri-menterinya. Kecuali itu kitab tersebut juga banyak dibaca didalam per- guruan-perguruan agama Islam pada hari-hari peringatan dan hari-hari raya, pada bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Sehingga kitab maulid karya Al-Waqidi ini banyak dihafal oleh kaum muslimin dan anak-anak keturunan mereka. [12]
Sementara, hasil penulisan dari Ibnu Ishaq, kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Hisyam (wafat 213 H). Beliau menulis riwayat tentang perilaku kehidupan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan berhasil menyelesaikannya dengan baik, sehingga ia dianggap sebagai penulis pertama riwayat kehidupan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Dengan menulis kitab mengenai itu Ibnu Hisyam tidak bermaksud menghimpun semua nash yang pernah diucapkan oleh Rasulallah shallallahu ‘alayhi wa sallam atau oleh para sahabat terdekat beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam. Meski pun demikian ternyata buah karyanya memperoleh sambutan baik dan dibenarkan oleh para Ulama dan kaum Muslimin Tidak lain semuanya ini bertujuan memelihara dan melestarikan data sejarah kehidupan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. [13]
Beliau juga merupakan salah satu dari generasi salafuh shaleh yang sangat alim dan dikenal sebagai Ahli Tashawuf. Beliau pernah berguru kepada Al-Imam Ma’aruf al-Kharkhiy dan juga kepada Al-Imam Al-Habib Ar-Ra’i. Dan merupakan paman dari Al-Imam Junaid Al-Baghdadiy. Wafat pada tahun 257 masih dalam kurun tabiut tabi’in.
Tentang Maulid Nabi beliau mengatakan, [14]
وقال السري السقطي: من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) فقد قصد روضة من رياض الجنة لانه ما قصد ذلك الموضع إلا لمحبة الرسول. وقد قال عليه السلام: من أحبني كان معي في الجنة “Imam As-Sari As-Saqathiy berkata, barangsiapa yang menyediakan tempat untuk dibacakan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم), maka sungguh dia menghendaki “Raudhah (taman)” dari taman-taman surga, karena sesungguhnya tiada dia menghendaki tempat itu melainkan karena cintanya kepada Rasul. Dan Sungguh Rasul (صلى الله عليه وسلم) bersabda : “barangsiapa mencintaiku, maka dia akan bersamaku didalam surga”.
Beliau sngat zuhud dan merupakan generasi shalafush shaleh. Beliau seorang pedagang dan selalu membagi-bagi hasilnya kepada faqir miskin, peminta dan orang tua yang lemah. Imam Junaid seorang yang sangat berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, beliau senantiasa merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam setiap majelis tempat beliau mengajar. Salah satu murif dari Al-Imam Junaid yang sangat dekat adalah Al-Imam Asy-Syibli. Imam Junaidi wafat pada tahun 297 H, masih dalam kurun Tabi’ut tabi’in yaitu kurun yang oleh Rasulullah berada diatas kebenaran. Beliau pernah berkata: “Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang sentiasa mengikuti perjalanan Rasulullah dan barangsiapa yang tidak menghafal al-Quran, tidak menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan guru dalam bidang tasawuf ini”. Dari perkataan beliau, sangat nampak bahwa tidak sembarang orang bisa menjadi Ahli Tashawuf.
Imam Junaid Al-Baghdadiy mengatakan tentang Maulid Nabi sebagai berikut, [15]
قال الجنيدي البغدادي رحمه الله: من حضر مولد الرسول وعظم قدره فقد فاز بالايمان “Imam Junaid al-Baghdadiy rahimahullah berkata, barangsiapa yang menghadiri Maulid ar-Rasul dan mengagungkannya (Rasulullah), maka dia beruntung dengan keimanannya”
Demikianlah anjuran dan keutamaan-keutamaan yang dijelaskan oleh kalangan salafush shaleh tentang peringatan Maulid Nabi, dan para Imam Madzhab pun hidup dimasa-masa tersebut. Pada masa tersebut Maulid Nabi bukanlah sesuatu hal yang patut dipermasalah dan berjalan seperti biasa sehingga di ikuti murid-murid serta seluruh kaum Muslimin. Mereka semua paham tentang peringatan tersebut, maka dari mereka menganjurkan dan menjelaskan keutamaan-keutamaan yang ada didalamnya.
Maulid Nabi Pada Kurun-Kurun Berikutnya
Pada masa ini, kitab Maulid yang terkenal adalah kitab Maulid Al-Mas’udi. Kitab tersebut dikarang oleh Al-Imam Al-Hafidz Abul Hasan Ali bin Al-Husein bin Ali Al-Mas’udiy (أبو الحسن علي بن الحسين بن علي المسعودي), lahir di Baghdad dan merupakan keturunan dari Abdullah bin Mas’ud yaitu salah seorang sahabat Nabi Shalallallahu ‘alayhi wa sallam. Wafat sekitar tahun 345/346 Hijriyah. [16]
Tahun 508 Hijriyah, Al-Imam Al-Hafidz Al-Muhaddits ‘Abdurrahman bin Ali yang terkenal dengan nama Abul Faraj Ibnu Al-Jauziy lahir di kota Baghdad, beliau seorang Ahli Fiqh dan al-Qur’an. Beliau memiliki kitab Maulid yang terkenal yaitu ”Al-‘Aruus” yang dicetak berkali-kali di Mesir. Beliau berkata tentang pembacaan Maulid Nabi,
“Manfaat istimewa yang terkandung dalam peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah timbulnya perasaan tentram dan kegembiraan yang mengantarkan umat Islam kepada tujuan yang luhur”. Dijelaskan pula olehnya bahwa orang-orang pada masa Daulat ‘Abbasiyah dahulu memperingati hari maulid Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dengan berbuat kebajikan menurut kemampuan masing-masing, seperti mengeluarkan shadaqah, infak dan lain-lain. Selain hari Maulid, mereka juga memperingati hari-hari bersejarah lainnya, misalnya hari keberadaan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam di dalam gua Hira sewaktu perjalanan hijrah ke Madinah. Penduduk Baqdad memperingati dua hari bersejarah itu dengan riang gembira, berpakaian serba bagus dan banyak berinfak. [17]
Didalam kitab I’anatuth Thalibin dituturkan perkataan Imam Ibnu Jauzi, [18]
وقال ابن الجوزي من خواصه أنه أمان في ذلك العام وبشرى عاجلة بنيل البغية والمرام “Imam Ibnu Jauzi berkata, termasuk kekhususan (keistimewaan) Maulid Nabi yaitu mendapatkan keamanan pada tahun itu, berita gembira yang kontan dengan teraihnya cita-cita.
Didalam kitab I’anah dituturkan tentang perayaan Maulid raja al-Mudhaffar,
وأول من أحدثه من الملوك الملك المظفر أبو سعيد صاحب أربل وألف له الحافظ ابن دحية تأليفا سماه التنوير في مولد البشير النذير فأجازه الملك المظفر بألف دينار وصنع الملك المظفر المولد وكان يعمله في ربيع الأول ويحتفل به احتفالا هائلا وكان شهما شجاعا بطلا عاقلا عالما عادلا “Dan yang pertama dari peristiwa ini berasal dari Raja Mudhaffar Abu Sa’id penguasa Irbil, Al-Hafidz Ibnu Dihyah mengarang sebuah karangan tentang Maulid untuk raja yang diberi nama “At-Tanwir fiy Maulid al-Basyir an-Nadzir”, maka raja al-Mudhaffar membalasnya dengan 1000 dinar dan membuat perayaan Maulid Nabi pada bulan rabi’ul awwal dan merayakannya dengan perayaan yang sangat besar, Raja al-Mudhaffar gagah pemberani, pintar akalnya dan adil. [19]
Jadi, Al-Imam Al-Muhaddits Al-Musnid Al-Hafidz Abul Khaththab Umar Ibnu Ali bin Muhammad yang terkenal dengan nama Al-Hafidz Ibnu Dihyah hidup pada masa ini, beliau memiliki karya Maulid yang berisi informasi yang sangat bermanfaat dan faidah yang banyak, ia memberi nama kitab tersebut dengan “At-Tanwir fiy Maulidil Basyirin Nadzir”
Al-Imam Sibth (cucu) Ibnu Al-Jauziy rahimahulla ta’alaa, beliau adalah ulama sunni. Beliau menuturkan yang berhubungan dengan Maulid Nabi sebagai berikut,
قال سبط ابن الجوزي في مرآة الزمان: (حكى) لي بعض من حضر سماط المظفر في بعض المواليد فذكر أنه عد فيه خمسة آلاف رأس غنم شواء، وعشرة آلاف دجاجة، ومائة ألف زبدية وثلاثين ألف صحن حلوى، وكان يحضر عنده في الموالد أعيان العلماء والصوفية، فيخلع عليهم، ويطلق لهم البخور، وكان يصرف على الموالد ثلاثمائة ألف دينار “Sibt Ibnu Jauzi berkata didalam Mi’atuz Zaman, dikisahkan, bagiku pernah hadir dalam perayaan Maulid al-Mudhaffar, pada perayaan tersebut di sembelih sebanyak 5.000 ekor kambing, 10.000 ayam, 100.000 roti mentega, 30.000 piring kue, dan yang hadir dalam perayaan tersebut terdiri dari para Ulama dan ahl-ahli tashawuf , dana yang dihabiskan dalam perayaan besar tersebut adalah 300.000 Dinar. [20]
Tentang Al-Mudhaffar ini juga di ceritakan oleh Al-Imam As-Suyuthiy,
وأول من أحدث فعل ذلك صاحب اربل الملك المظفر أبو سعيد كوكبرى بن زين الدين علي بن بكتكين أحد الملوك الأمجاد والكبراء الأجواد، وكان له آثار حسنة، وهو الذي عمر الجامع المظفري بسفح قاسيون “dan yang pertama mengadakan hal semacam itu (perayaan sangat besar) adalah penguasa Irbil, Raja al-Mudhaffar Abu Sa’id Kaukabri bin Zainuddin Ali Ibnu Buktukin, salah seorang raja yang mulya, agung dan demawan. Beliau memiliki peninggal yang hasanah (baik), dan beliau lah yang membangun al-Jami’ al-Mudhaffariy dilembah Qasiyun”.[21]
Dalam kitab ‘Al-Bidayah wan Nihayah”, Imam Ibnu Katsir memuji raja al-Mudhaffar, yang mana redaksinya sebagai berikut : [22]
“..Raja al-Mudhaffar Abu Sa’id Kaukabri adalah salah seorang dermawan, pemimpin yang besar, serta raja yang mulya yang memiliki peninggalan yang baik. Dan dia menyelenggarakan Maulid yang mulya di bulan Rabi’ul awwal secara besar-besaran. Ia juga seorang raja yang berotak cemerlang, pemberani kesatria, pandai, dan adil – semoga Allah mengasihinya dan menempatkannya ditempat yang paling baik-.” Kemudian dia melanjutkan ; “Ia (Raja al-Mudhaffar) membelanjakan hartanya sebesar 3000 dinar (emas) untuk perayaan Maulid Nabi” Al-Imam Adz-Dzahabi didalam kitabnya, ketika menyebutkan tentang biografi Raja al-Mudhaffar ; “Ia adalah seorang raja yang rendah hati, baik hati, sunni (ahlus sunnah wal jamaah) dan mencintai para Ulama dan Ahli Hadits”[23]
Nampaknya, sejak peringatan Maulid Nabi diadakan dalam bentuk perayaan yang sangat besar yang dihadiri oleh berbagai Ulama hingga ahli tashawuf, Maulid Nabi mulai menjadi perhatian khusus bagi kaum Muslimin. Posisi al-Mudhaffar sebagai seorang raja, mengindikasikan bahwa perayaan Maulid Nabi yang besar tersebut diadakan oleh lembaga formal pemerintahan dan baru pertama kalinya serta sangat meriah, serta diadakan pada setian tahunnnya atau menjadi perayaan rutin tahunan.
Kehadiran para alim Ulama hingga tokoh-tokoh sufi pun, mengindikasikan bahwa perayaan tersebut diterima oleh kaum Muslimin dan dianggap sebagai perayaan yang baik. Dari sini pula, dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi sebelumnya memang sudah dikenal oleh kaum Muslimin namun tidak dalam bentuk perayaan besar yang dilakukan oleh pemerintahan, sehingga ketika perayaan tersebut diadakan oleh Raja al-Mudhaffar, mereka pun menanggapinya dengan baik. Mungkin inilah yang dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan yaitu dalam masalah teknis peringatan, sebab sebelumnya belum pernah di jumpai lembaga pemerintahan yang merayakan Maulid Nabi, namun perkara baru ini dianggap baik oleh kalangan kaum Muslimin.
Maka sejak saat itulah, perayaan Maulid Nabi juga mulai menjadi perbincangan dikalangan Ulama dan kaum Muslimin. Kontroversi pun muncul dari sebagian kaum Muslimin dalam menanggapi perayaaan yang sangat besar tersebut dan baru pertama kalinya, dimana sebuah lembaga formal kenegaraan mengadakan acara yang sangat meriah dalam penyambutan Maulid Nabi dan menjadikannya sebagai acara tahunan. Hal bisa kita lihat dari banyaknya ulama yang mengarang tentang Maulid Nabi pada masa-masa ini dan setelahnya, sebut saja semisal,
Al-Imam Abu Syamah rahimahullah ta’alaa (wafat 655 H), ulama bermadzhab Syafi’i, beliau adalah guru besar dari Al-Imam Hujjatul Islam An-Nawawiy, [24]
قال الامام أبو شامة شيخ المصنف رحمه الله تعالى: ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل في كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده (صلى الله عليه وسلم): من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور، فإن ذلك مع ما فيه من الاحسان إلى الفقراء يشعر بمحبة النبي (صلى الله عليه وسلم) وتعظيمه وجلالته في قلب فاعل ذلك، وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسوله الذي أرسله رحمة للعالمين “dan sebagus-bagusnya apa yang yang disebut bid’ah pada zaman kita yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi (صلى الله عليه وسلم), dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi (صلى الله عليه وسلم), mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam”
Al-Imam Al-Muhaddits Al-Hafidz Al-Musnid Al-Jami’ Abul Khair Syamsuddin Muhammad Ibnu Abdullah Al-Jazariy Asy-Syafi’i (wafat 660 H). Beliau adalah guru dari para Qurra’ (Ahli baca Al-Qur’an) dan Imam Qira’at pada zamannnya. Beliau memiliki karya Maulid yang masih berupa manuskrip (naskah tulisan tangan) yang berjudul “ ‘Arfut Ta’rif bi Al-Maulidi Asy-Syarif”. [25] Ketika berbicara masalah Maulid Nabi, beliau mengatakan, [26]
قد رؤي أبو لهب بعد موته في النوم فقيل له: ما حالك؟ فقال: في النار إلا أنه يخفف عني كل ليلة اثنين، وأمص من بين أصبعي ماء بقدر هذا- وأشار لرأس أصبعه -، وأن ذلك بإعتاقي لثويبة عندما بشرتني بولادة النبي صلى الله عليه وسلم وبإرضاعها له فإذا كان أبو لهب الكافر الذي نزل القرآن بذمه جوزي في النار بفرحه ليلة مولد النبي صلى اله عليه وسلم به فما حال المسلم الموحد من أمة النبي صلى الله عليه وسلم يسر بمولده ويبذل ما تصل إليه قدرته في محبته صلى الله عليه وسلم، لعمري إنما يكون جزاؤه من الله الكريم أن يدخله بفضله جنات النعيم “Sungguh telah diperlihatkan didalam tidur (mimpi) bahwa sesungguhnya Abu Lahab setelah kematiannya, dikatakan (ditanya) kepadanya : “bagaimana keadaaanmu ?” Maka (Abu Lahab) berkata : “ (aku berada) didalam neraka, hanya saja (siksaan) diringankan dariku pada malam senin, dan aku bisa menghisap air sekadarnya dari sela-sela jari (kedua tanganku) – lalu ia (Abu Lahab) memberi isyarat dengan ujung jarinya-, dan sungguh semua itu karena aku telah membebaskan (budak perempuanku) Tsuwaibah (ثويبة) ketika ia menyampaikan kabar gembira dengan lahirnya Nabi (صلى الله عليه وسلم) dan karena ia (Tsuwaibah) menyusui beliau. Maka jika Abu Lahab yang kafir yang telah diturunkan ayat al-Qur’an untuk mencelanya diberi ganjaran kebaikan didalam neraka karena bergembira pada malam Maulid Nabi (صلى اله عليه وسلم), lalu bagaimana dengan seorang Muslim yang mengesakan (Allah) yang termasuk umat dari Nabi (صلى اله عليه وسلم) yang senang dengan kelahiran Beliau dan mengeluarkan apa yang dia mampu demi kecintaannya kepada Nabi (صلى اله عليه وسلم), Demi Allah, sesungguhnya yang pantas bagi mereka dari Allah yang Maha Pemurah adalah memasukkan mereka dengan keutamannya kedalam surga yang penuh kenikmatan (جنات النعيم)”.
Al-Imam Izzuddin ibn 'Abdis Salam (W 660 H) juga berada pada kurun ini serta menjadi pelopor pembagian bid’ah menjadi 5. Al-Imam Hujjatul Islam An-Nawawi ( wafat 676 H) bahkan mensunnahkan peringatan Maulid Nabi, dimana fatwa ini pada kurun selanjutnya diperkuat oleh Al-Imam Al-Hafidz Abul Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-‘Asqalani yang wafat dalam tahun 852 H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam Al-‘Asqalani memastikan bahwa memperingati hari Maulid Nabi (صلى الله عليه و سلم) dan mengagungkan kemuliaan beliau merupakan amalan yang mendatangkan pahala. [27] Pada kurun ini pun, Al-Imam Muhammad Al-Bushiriy (610 – 695 H), ulama bermadzhab Syafi’iyyah, menorehkan karyanya yaitu berupa kitab yang dikenal dengan Qasidah Burdah, berisi bait-bait anjuran untuk memuji Rasulullah (صلى الله عليه وسلم) setinggi-tingginya tapi jangan sampai meniru orang Nasrani yang kemudian menganggap Nabinya sebagai Allah (Anak Allah), berikut bait-bait Qasidah Al-Imam Muhammad Al-Bushiriy , [28]
“Tinggalkanlah apa yang dikatakan oleh orang Nasrani tentang Nabi mereka, dan buatlah pujian yang engkau suka tentang beliau dan sempurnakanlah pujian untuknya
“Nisbatkanlah kepada dzatnya segala kemulyaan yang kau suka, dan nisbatkanlah kepada derajatnya nan mulya semua keagungan yang kau suka”
“Karena sesungguhnya kemulyaan Rasulullah tidak memiliki batasan hingga tak satu pun Insan yang lisannya mampu untuk melukiskan”
Maulid Nabi Pada Kurun Ke Tujuh dan Delapan
Al-Imam ‘Abdur-Rabi’ Sulaiman At-Thufi As-Shurshuri Al-Hanbali terkenal dengan nama Ibnul-Buqiy yang mana beliau wafat tahun 716 H dan pernah menulis sajak dan sya’ir-sya’ir bertema pujian memuliakan keagungan Nabi Muhammad (صلى الله عليه و سلم) ke agungan yang tidak ada pada manusia lain mana pun juga. Ketika hari Maulid Nabi para pemimpin Muslim berkumpul dikediaman beliau, lalu minta salah seorang dari hadirin supaya mendendangkan sya’ir-sya’ir Al-Buqiy. [29] Peringatan Maulid Nabi terus berlangsung. Tidak ketinggalan pula, ulama yang controversial yaitu Imam Ibnu Taimiyah (661 H – 728 H) ikut memberikan komentarnya tentang Maulid Nabi, dalam sebuah kitab yang beliau karang yaitu kitab Iqthida’ As-Shirathal Mustaqim, menyatakan sangat jelas tentang pahala bagi orang yang merayakan Maulid Nabi dan menolak sebagian orang yang menjadikan Maulid Nabi sebagai ‘Ied (hari raya yang disyariatkan), sebab Maulid Nabi bukanlah ‘Ied dan tidak ada ahli ilmu yang menganggap atau berkeyakinan bahwa Maulid Nabi adalah ‘Ied. Beliau mengatakan dalam kitabnya, [30]
وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم وتعظيما له والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيدا “dan semikian juga apa yang peristiwa yang dilakukan oleh sebagian manusia, baik untuk meniru kaum Nashraniy dalam peringatan Maulid Isa, atau karena kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan pengagungan kepada beliau. Allah sungguh akan memberikan pahala kepada mereka atas kecintaaan dan kesungguhannya, bukan atas bid’ah yang dilakukan seperti menjadikan Maulid Nabi sebagai ‘Ied”
Pada halaman lainnya, [31]
فتعظيم المولد واتخاذه موسماً قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلّىالله عليه وسلّم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد ، ولهذا قيل للإمام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف دينار ونحو ذلك فقال : دعه فهذا أفضل ما أنفق فيه الذهب ، أو كما قال ، مع أن مذهبه : أن زخرفة المصاحف مكروهة ، وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقها في تجديد الورق والخط ، وليس مقصود الإمام أحمد هذا وإنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة وفيه أيضاً مفسدة كُره لأجله “Adapun memulyakan Maulid Nabi, dan menjadikannya sebagai sebuah perayaan tahunan telah dilaksanakan oleh banyak orang dan mereka akan memperoleh pahala yang besar karena disebabkan niat mereka yang baik dan penghormatan mereka kepada Rasulullah (صلى الله عليه وسلم). Sebagaimana yang telah saya ketengahkan kepada engkau, bahwa perkara yang dianggap buruk oleh sebagian orang Mukmin yang berpendirian tegas terkadang dianggap baik oleh sebagian orang. Oleh karena itu pernah suatu kali dikatakan kepada Imam Ahmad tentang seorang pejabat yang menginfakkan uang sejumlah 1000 dinar (mata uang emas) untuk menghiasi mushhaf al-Qur’an. Imam Ahmad menjawab ; biarkanlah dia karena sesuatu yang paling pantas untuk dibelanjakan demi Al-Qur’an ini adalah emas”, atau yang redaksinya seperti itu. Padahal Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa menghiasi mushhaf secara berlebihan adalah makruh. Namun sebagian madzhab ulama Hanbali yang mentakwil masalah tersebut bahwa dalam kasus tersebut pejabat menafkahkan hartanya untuk membaharui kerta dan tulisan mushhaf itu. Dan Imam Ahmad bukanlah bermaksud mengatakan bahwa hal itu boleh dilakukan, hanya saja ia bermaksud bahwa didalam apa yang dilakukan terdapat kemaslahatan dan juga kemafsadatan (keburukan) yang karenanya hal itu dimakruhkan”
Ibnu Bathuthah dalam buku catatan pengembaraannya menceritakan kesaksiannya sendiri tentang bentuk dan cara memperingati Maulid Nabi (صلى الله عليه و سلم) yang dilakukan oleh Sulthan Tunisia, Amirul Mu’minin Abul Hasan, pada tahun 750 H. Ia mengatakan bahwa Sulthan ini pada hari Maulid Nabi Muhammad (صلى الله عليه و سلم) mengadakan pertemuan umum dan terbuka dengan rakyatnya dan bagi semua yang hadir disediakan hidangan makan minum secukupnya. Untuk itu Sulthan menyediakan anggaran belanja beribu-ribu dinar (uang emas). Ia membangun kemah-kemah raksasa untuk tempat pejabat pemerintahan dan undangan-undangan lainnya. Dalam pertemuan itu di dengungkan sajak-sajak dan sya’ir-sya’ir pujian kepada Nabi Muhammad (صلى الله عليه و سلم) dan diuraikan pula riwayat kehidupan beliau (صلى الله عليه و سلم). Peringatan Maulid dalam bentuk seperti ini juga dituturkan oleh penulis kitab Murujudz Dzahab. Beliau menyebut berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun 738 H.
Perihal di Mekkah, Ibnu Bathutha juga menuturkan bahwa pada setiap hari Jumaat, setelah shalat dan pada hari Kelahiran Nabi, pintu Ka'bah akan dibuka oleh ketua Banu Shayba, pemegang kunci pintu Ka'bah. Pada hari Maulidur Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam juga, Qadi yang bermazhab Shafi'i (Ketua Hakim, Makkah), Najmuddin Muhammad Ibnu al-Imam Muhyiddin Ath-Thabari, membagi-bagikan makanan kepada shurafa' (keturunan Nabi) dan juga kepada kesemua penduduk Makkah. [32]
Didalam kurun ini, juga hidup seorang Imam yang sangat terkenal yaitu Al-Imam Al-Mufti (Ahli Fatwa) Al-Muarrikh (Ahli Sejarah) Al-Muhaddits Al-Hafidz ‘Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir yang memiliki sebuah karya tafsir yang terkenal (Tafsir Ibnu Katsir) dan sejarah serta kitab Hadits. Beliau wafat pada tahun 774 H. Imam Ibnu Katsir menyusun kitab Maulid Nabi yang terakhir dicetak dengan pemeriksaan kembali (tahqiq) yang dilakukan oleh Doctor Shalahuddin Al-Munjid. Kemudian Al-Allamah Al-Faqih As-Sayyid Muhammad bin Salim bin Hafidz, yang menjadi Mufti di kota Tarim (Hadramaut, Yaman) menggubah ulang Maulid tersebut dalam bentuk Nadham (sya’ir) dan memberikan penjelasan atasnya. As-Sayyid Ibnu Alawi Al-Maliki telah memberi catatan kaki atas karya tersebut dan mencetaknya di Suria pada tahun 1387 Hijriyah. [33]
Selian itu, Al-Imam Taqiyyuddin ‘Ali bin ‘Abdul Kafi As-Subkiy hidup pada masa ini dan wafat pada tahun 756 H. Beliau menulis kitab khusus tentang kemuliaan dan kebesaran Nabi Muhammad, bahkan beliau menfatwakan, “barangsiapa menghadiri pertemuan untuk mendengarkan riwayat maulid Nabi Muhammad (صلى الله عليه و سلم) serta keagungan maknanya ia memperoleh barakah dan balasan pahala” [34]
Al-Imam Yafa'i Al-Yamaniy (wafat 768 H) turut menuturkan keutamaan Maulid Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, beliau mengatakan, [35]
وقال الامام اليافعي اليمنى: من جمع لمولد النبي (ص) إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءة مولد الرسول بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم “Dan berkata Imam Al-Yafa’iy Al-Yamani : “Barangsiapa yang mengumulkan saudara-saudaranya untuk (merayakan) Maulid Nabi, menyajikan makanan, beramal yang baik dan menjadikannya untuk pembacaan Maulid ar-Rasul, maka Allah akan membangkitkan pada hari Kiamat bersama para Shadiqin, Syuhada, Shalihin dan menempatkannya pada tempat yang tinggi”
Maulid Nabi Pada Kurun Ke Sembilan
Seorang Imam yang besar, tokoh yang sangat terkenal, penjaga Islam, tumpuan banyak orang, tempat rujukan para Ahli hadits yang sangat terkenal, Al-Hafidz Abdurrahim bin Al-Husain bin Abdurrahman Al-Mishriy yang terkenal dengan Al-Hafidz Al-Iraqiy, lahir pada 725 H dan wafat pada 808 H. Ia memiliki kitab Maulid yang dinamakan dengan “Al-Mawridul Haniy fiy Mawlidis Saniy”. Para huffadz menyebut-nyebutnya dibeberapa karya mereka, demikian juga seperti Ibnu Fahd dan As-Suyuthiy dalam catatan kaki mereka atas kitab At-Tadzkirah. [36]
Al-Hafidz Al-Imam Al-Muhaddits Syamsuddin bin Nashiruddin Ad-Damasyqiy (777 H - 842 H) adalah seorang Maha guru disebuah sekolah Darul Hadits, Damaskus. Beliau juga seorang yang amat mencintai, memulyakan, dan membela Asy-Syaikh Ibnu Taimiyah secara mati-matian. Beliau penyusun kitab tentang pembelaan atas Ibnu Taimiyah yang berjudul “Ar-Raddul Wafir alaa Man Za’ama Anna Man Samma Ibnu Taimiyah Syaikhul Islami Kafir”. Ia telah menyusun beberapa karya Maulid yang mulya, diantaranya : Jami’ul Atsar fi Maulidin Nabiyyil Mukhtar (terdiri dari 3 jilid), Al-Lafdzur Roiq fi Maulidi Khayril Khalaiq (bentuknya ringkas), Mauridush Shadi fi Maulidil Hadi. Ibnu Fahd pernah menyebutkannya. Dan lihat pula Kasyfuhz Dzunnun ‘alaa Asamil Kutub wal Funun halaman 319. [37]
Beliau mengatakan tentang Maulid seraya melantunkan syair : [38]
وقال الحافظ شمس الدين بن ناصر الدين الدمشقي في كتابه المسمى (مورد الصادي في مولد الهادي “dan berkata Al-Hafidz Syamsuddin bin Nashiruddin Ad-Damasyqiy didalam kitabnya yang berjudul “Mauridush Shadi Fiy Maulid al-Hadiy/ مورد الصادي في مولد الهادي “ : قد صح أن أبا لهب يخفف عنه عذاب النار في مثل يوم الاثنين لإعتاقه ثويبة سرورا بميلاد النبي صلى الله عليه وسلم، ثم أنشد إذا كان هـذا كافرا جـاء ذمـه وتبت يـداه في الجحـيم مخـلدا أتى أنـه في يـوم الاثنين دائـما يخفف عنه للسـرور بأحــمدا فما الظن بالعبد الذي طول عمره بأحمد مسرورا ومات موحـــدا “Sungguh shahih (riwayat) tentang Abu lahab yang diringankan siksa neraka darinya pada hari senin, karena ia telah membebaskan (budaknya) Tsuwaibah karena bergembira dengan kelahiran Nabi (صلى الله عليه وسلم) kemudian (beliau) bersenandung (bernasyid) “: “Jika orang kafir yang telah datang (tertera) celaan baginya (yakni) “dan celakalah kedua tangannya didalam neraka Jahannam kekal didalamnya” “Telah tiba pada (setiap) hari senin untuk selamanya Diringankan (siksa) darinya karena bergembira ke (kelahiran) Ahmad “Maka bagaimanakah dugaan kita terhadap seorang hamba yang sepanjang usia Karena (kelahiran) Ahmad, lantas ia selalu bergembira dan tauhid menyertai kematiannya”
Seorang Imam besar kembali menguatkan fatwa Imam An-Nawawi, beliau adalah Al-Imam Syeikhul Islam Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Ahmad Ibnu Hajar Al-Asqalaniy (773 H - 852H), yang telah mensyarah kitab monumental Imam Bukhari, dan beliau beri nama dengan kitab Fathul Bari, kitab lainnya yang merupakan karangan beliau adalah Ad-Durar al-Kaminah, Tahdzib al-Tahdzib, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, dan lain-lain. Tentang perayaan Maulid Nabi, beliau mengatakan, [39]
أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة، وإلا فلا وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت، وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم؟ فقالوا: هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى، فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما مَنَّ به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة، ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة، والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة، وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم “Asal amal Maulid adalah bid’ah, tidak pernah ada perkataan (perbincangan) dari salafush shaleh dari kurun ke tiga, dan akan tetapi bersamanya mencakup (mengandung) kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka barangsiapa yang mengambil kebaikan-kebaikannya pada amal Maulid dan menjauhi keburukannya maka itulah bid’ah Hasanah (بدعة حسنة), dan jika tidak (menjauhi keburukannya) maka tidak (bukan bid’ah Hasanah)”. “dan sungguh telah jelas bagiku bahwa apa yang dikeluarkan (diriwayatkan) atas asal penetapan (hokum Maulid), sebagaimana yang ditetapkan didalam Ash-Shahihayn bahwa sesungguhnya Nabi datang ke Madinah, maka (beliau) menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’, Rasulullah bertanya kepada mereka (tentang puasa tersebut)? Maka mereka menjawab : “Padanya adalah hari dimana Allah telah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan (Nabi) Musa, maka kami berpuasa untuk bersyukur kepada Allah Yang Maha Tinggi (atas semua itu)”. Maka faidah yang bisa diambil dari hal tersebut adalah bahwa (kebolehan) bersyukur kepada Allah atas sesuatu (yang terjadi) baik karena menerima sebuah kenikmatan yang besar atau penyelamatan (terhindar) dari bahaya, dan bisa diulang-ulang perkara (syukuran) tersebut pada hari (yang sama) setiap tahun. Adapun syukur kepada Allah dapat dilakukan dengan bermacam-macam Ibadah seperti sujud (sujud syukur), puasa, shadaqah dan tilawah (membaca al-Qur’an). dan sungguh adakah nikmat yang paling agung (besar) dari berbagai nikmat (yang ada) selain kelahiran Nabi (Muhammad) Nabi yang penyayang pada hari (peringatan Maulid) itu ?”
Maulid Nabi Pada Kurun Menjelang Ke Sepuluh
A-Imam Al-Hafidz Muhammad bin Abdurrahman Al-Qahiriy, dikenal dengan nama Al-Imam As-Sakhawiy (831 H – 902 H), beliau juga dikenal sebagai Ahli sejarah di Madinah, penulis kitab Adh-Dhaw’ul Lami’. Beliau juga telah menyusun sebuah karya Maulid yang diberi judul “Al-Fakhrul ‘Ulwi fil Mawlidin Nabawiy”, yang ia sebut didalam kitabnya Adh-Dhaw’ul Lami jilid 8 halaman 18. [40] Tentang Maulid Nabi, beliau mengatakan, [41]
قال السخاوي: إن عمل المولد حدث بعد القرون الثلاثة ثم لا زال أهل الاسلام من سائر الاقطار والمدن الكبار يعملون المولد، ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات، ويعتنون بقراءة مولده الكريم، ويظهر عليهم من بركاته كل فضل عميم “Berkata (Al-Imam) As-Sakhawiy : “sesungguhnya amal Maulid adalah baru setelah kurun ke 3, kemudian bagi seluruh umat Islam seluruh penjuru daerah dan kota-kota besar mengamalkan Maulid (Nabi), dan bershaqadah pada malam-malam hari dengan berbagai macam shadaqah, meramaikan dengan pembacaaan Maulid Nabi, dan begitu jelas keberkahan bagi mereka”.
Al-Imam As-Sakhawiy didalam Al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut : [42]
لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ “Tidak pernah dikatakan (perbincangkan) dari salah seorang ulama Salafush Shaleh pada kurun ke tiga yang mulya dan sungguh itu baru ada setelahnya. Kemudian umat Islam diseluruh penjuru daerah dan kota-kota besar senantiasa memperingati Maulid Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ) dibulan kelahiran Beliu. Mereka mengadakan jamuan yang luar biasa dan diisi dengan perkara-perkara yang menggembirakan serta mulya, dan bershaqadah pada malam harinya dengan berbagai macam shadaqah, menampakkan kegembiraan, bertambahnya kebaikan bahkan diramaikan dengan pembacaan (buku-buku) Maulid Nabi yang mulya, dan menjadi teranglah (jelaslah) keberkahan dan keutamaan (Maulid Nabi) secara merata dan semua itu telah teruji. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ “Kemudian (beliau) berkata : “aku katakan : adanya (tanggal) kelahiran Nabi Asy-Syarif yang paling shahih adalah pada malam Senin, 12 Rabi’ul Awwal. Dikatakan (qoul yang lain) : pada malam tanggal 2, dikatakan juga pada tanggal 8, 10 dan lain sebagainya. Maka dari itu, tidak mengapa mengerjakan kebaikan pada setiap hari-hari ini dan malam-malamnya dengan persiapan (kemampuan) yang ada bahkan bagus dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan (Rabi’ul Awwal)”
Al-Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ali Zaynul Abidin As-Samhudiy Al-Hasaniy seorang ahli sejarah yang hidup di Madinah yang wafat pada tahun 911 H mengarang sebuah karya Maulid yang diberi judul “Al-Mawaridul Haniyyah fi Maulidi Khairil Bariyyah” dengan khoth (tulisan) naskhi yang indah. Diantaranya naskahnya adalah beberapa manuskrip yang berada dibeberapa perpustakaan di Madinah Al-Munawwarah, Mesir dan Turki. [43]
Al-Imam Al-Hafidz As-Suyuthiy (849 H - 911 H), beliau mengarang kitab yang sangat banyak antara lain adalah Syarh asy-Syathibiyah, Ainul Ishaabah Fi Ma’rifati ash-Shahaabah, Taqriibul Ghariib, al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla', At-Tahiir fi ‘Uluumi Tafsir, Haasyiyah ‘ala Tafsiri al-Baidlawi dan banyak lagi. Dalam Husnul Maqshid dituturkan mengenai pendapat beliau tentang Maulid Nabi, [44]
وقد ظهر لي تخريجه على أصل آخر، وهو ما أخرجه البيهقي عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعد النبوة، مع أنه قد ورد أن جده عبد المطلب عق عنه في سابع ولادته، والعقيقة لا تعاد مرة ثانية فيحمل ذلك على أن الذي فعله النبي صلى الله عليه وسلم إظهار للشكر على إيجاد الله إياه رحمة للعالمين، وتشريع لأمته كما كان يصلي على نفسه، لذلك فيستحب لنا أيضا إظهار الشكر بمولده بالاجتماع وإطعام الطعام ونحو ذلك من وجوه القربات وإظهار المسرات “dan sungguh sangat jelas bagiku yang dikeluarkan (diriwayatkan) atas asal yang lain (dari pendapat Imam Ibnu Hajar) yaitu apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqiy dari Anas bahwa sesungguhnya Nabi (صلى الله عليه وسلم) mengaqiqahkan dirinya sendiri sesudah (masa) kenabian, (padahal) sesungguhnya telah dijelaskan (riwayat) bahwa kakek beliau Abdul Mutthalib telah mengaqiqahkan (untuk Nabi) pada hari ke tujuh kelahirannya. adapun aqiqah tidak ada perulangan dua kali, maka dari itu sungguh apa yang dilakukan oleh Nabi (صلى الله عليه وسلم) menerangkan tentang (rasa) syukur beliau karena Allah telah mewujudkan (menjadikan) beliau sebagai rahmat bagi semesta alam, dan sebagai landasan bagi umatnya. Oleh karena itu, maka juga boleh (mustahab/patut) bagi kita untuk menanamkan (menerangkan) rasa syukur kita dengan kelahirannya (Rasulullah) dengan mengumpulkan (kaum Muslimin), menyajikan makanan dan semacamnya dari (sebagai) perwujudan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) dan menunjukkan kegembiraan (karena kelahiran beliau)”.
Al-Imam Shultan ‘Arifin Jalaluddin As-Suyuthiy juga mengatakan, [45]
قال سلطان العارفين جلال الدين السيوطي في كتابه الوسائل في شرح الشمائل: ما من بيت أو مسجد أو محلة قرئ فيه مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) هلا حفت الملائكة بأهل ذلك المكان وعمهم الله بالرحمة والمطوقون بالنور - يعني جبريل وميكائل وإسرافيل وقربائيل وعينائيل والصافون والحافون والكروبيون - فإنهم يصلون على ما كان سببا لقراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم “Berkata Shulthan Al-‘Arifin Jalaluddin As-Suyuthiy didalam kitabnya “al-Wasail fiy Syarhi Asy-Syamil” : tiada sebuah rumah atau masjid atau tempat pun yang dibacakan didalamnya Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) melainkan dipenuhi Malaikat yang meramaikan penghuni tempat itu dan Allah akan memberikan rahmat dan yang memberikan cahaya itu yakni (يعني جبريل وميكائل وإسرافيل وقربائيل وعينائيل والصافون والحافون والكروبيون)- Maka sesungguhnya mereka (malaikat) itulah yang menshalawatkan (mendo’akan)nya karena membaca Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم)” قال: وما من مسلم قرئ في بيته مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) إلا رفع الله تعالى القحط والوباء والحرق. والآفات والبليات والنكبات والبغض والحسد وعين السوء واللصوص عن أهل ذلك البيت، فإذا مات هون الله تعالى عليه جواب منكر ونكير، وكان في مقعد صدق عند مليك مقتدر "tiada sebuah rumah atau masjid atau tempat pun yang dibacakan didalamnya Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) melainkan dipenuhi Malaikat yang meramaikan penghuni tempat itu (menyelubunyi tempat itu) dan Allah merantai Malaikat itu dengan rahmat dan Malaikat bercahaya (menerangi) itu antara lain Malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Qarbail, 'Aynail, ash-Shaafun, al-Haafun dan al-Karubiyyun. Maka sesungguhnya mereka (malaikat) itulah yang mendo’akannya karena membaca Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم)”
Al-Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad Asy-Syaibaniy Al-Yamani Az-Zabidiy Asy-Syafi’i yang terkenal dengan nama Ibnu Diba’. Kata Diba’ sendiri bermakna putih dalam bahasa Sudan, dan itu untuk julukan salah seorang kakeknya yang bernama Ali bin Yusuf. Ia lahir bulan Muharram 866 H dan wafat hari Jum’at pada tanggal 12 Rajab tahun 944 H. Ia – semoga Allah merahmatinya – adalah salah seorang Imam pada zamannya, ia juga seorang Mahaguru hadits yang paling tinggi pada masa itu. Ia membacakan hadits Al-Bukhari lebih dari seratus kali, dan suatu kali ia pernah membacanya dalam waktu 6 hari. Ia telah menulis sebuah karya Maulid yang terkenal dibanyak negeri. Dan atas karunia Allah kami (As-Sayyid Ibnu Alawi Al-Maliki) telah mentahqiqnya, memberi catatan kami dan mentakhrij hadits-haditsnya. [46]
Al-‘Allamah Al-Faqih Al-Hujjah Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar Al-Haitamiy yang wafat pada tahun 974 H. Ia seorang Mufti Madzhab Syafi’i di Mekkah Al-Mukarramah. Ia memiliki karaya Maulid yang ukurannya sedang setebal 71 halaman, tertulis dengan khaoth naskhi yang kecil namun jelas. Naskahnya diantaranya tersimpan dibeberapa perpustakaan di Turki dan Mesir. Ia beri judul “Itmamun Ni’mati alal ‘Alam bi Maulidi Sayyidi Waladi Adam”. Selain itu, ia juga menulis karya yang lain tentang Maulid yang berjudul “Ni’matul Kubra alal ‘Alam fiy Mawlidi Sayyidi Waladi Adam”. Dan Asy-Syaih Al-Bajuriy telah menyusun catatan pinggir atas Maulid karya Ibnu Hajar tersebut, lalu ia memberi judul “Tuhfatul Basyar ‘ala Maulid Ibnu Hajar”, yang mana kitab tersebut disebut sebagai kitab Al-‘Alam. [47] Wassalam.